AKU sering mengajaknya ke pelabuhan. Melihat deburan ombak kecil, laut biru, dan kapal-kapal besi yang congkak.
Sesekali terlihat juga para pemancing ikan. Tapi tak sekalipun aku lihat mereka mendapatkan tangkapan. Mungkin hanya membunuh waktu.
Pemuda kurus terlihat sedang mengecat lambung kapal. Tak jauh dari sana, seorang gadis sedang mendayung kano. Matanya sesekali menatap pelatihnya yang sedari tadi teriak-teriak sambil mendekatkan kedua telapak tangannya ke mulut, membentuk sebuah corong.
Aku sering membawanya ke pelabuhan. Di pesisir timur Kota Cirebon. Untuk sekadar melepas lelah dan membicarakan hal-hal yang tidak serius.
Perempuan yang sekarang menjadi istriku itu senang sekali setiap kali aku ajak ke Pelabuhan. Angin sepoi-sepoi mengingatkannya pada kampung halaman. Bau air laut membawanya menerabas jarak, menemui Ibu, untuk kemudian memeluknya erat.
Ke laut, dia melepas rindu pada tanah kelahiran.
Sementara aku selalu terpukau oleh horizon. Ia mempertemukan dua kutub yang saling berlawanan: kebebasan dan keterbatasan.
Aku menemukan keluasan cara pandang sekaligus keterbatasan mata memandang setiap kali bertemu laut.
Menatapnya adalah kelegaan yang jarang kutemui di tengah kota.
***
Pelabuhan menyimpan banyak cerita. Sewaktu kecil, saat masih kelas dua SD, aku pernah ke Pelabuhan, ikut Mama (Bapak). Saat itu aku sedikit memaksa. Sebab sudah sekian lama tak pernah tahu pekerjaan bapakku sendiri.
Setiap kali pelajaran bahasa Indonesia atau ditanya guru di sekolah, "apa pekerjaan Ayahmu?", aku selalu sulit menjawab.
Sama seperti setiap kali ditanya guru sekolah, berapa penghasilan orangtua dalam sebulan? Saat saya tanyakan itu ke Mama, dia menjawab ngga tentu. Aku memaksa kejelasan. Dan jawabannya selalu sama. Ngga tentu.
Barangkali logika "bulanan" tidak pernah masuk akal bagi seorang buruh harian seperti Mama.
Aku mogok sekolah dan hanya ingin ke Pelabuhan, ke tempat kerjanya. Aku menangis sejadi-jadinya demi memupus rasa penasaran.
Akhirnya Mama luluh dan mengajakku ke Pelabuhan. Duhai senangnya hatiku. Diajaknya aku naik angkot berwarna biru langit.
Sesampainya di Pelabuhan, Mama bertemu dengan teman-teman kerjanya. Mereka kebanyakan adalah "wong loran" (orang dari Cirebon Utara) dan "wong wetan" (orang dari Cirebon Timur).
Mereka duduk-duduk di pinggiran dermaga. Di depan kapal-kapal besi berukuran besar.
"Hari ini tidak ada kapal kayu dari Kalimantan," kata salah satu dari mereka.
Entah kenapa Mama sepertinya lega. Mungkin dia bahagia anaknya tak melihat bapaknya ngangkut-ngangkut usuk dan dolog yang besar-besar. Memindahkannya dari kapal ke truk angkut.
***
Dari Pelabuhan, ingatanku tentang siapa bapakku kembali datang. Ia yang kerap membuatku mawas diri, menilai dan mengukur-ukur kembali. Membawaku pada tempat semula. Ke rumah.
Beberapa tahun terakhir, aku sudah tak pergi ke Pelabuhan. Tak juga mengajaknya ke sana.
Entah kenapa, hari ini, di rumah sekarang yang jauh dari laut, aku ingin mengajaknya kembali ke Pelabuhan. Sekali lagi. Dan untuk seterusnya.
Agar perempuan yang sekarang jadi istriku itu tahu, aku anak seorang kuli panggul.[]
Sumber, 21 April 2019.
Comments
Post a Comment