Skip to main content

Kejahatan dan Kebaikan


SOKRATES pernah berkata, tak seorang pun berbuat jahat dengan sengaja. Apa maksudnya? Dalam lain kata, kejahatan tidak pernah menjadi sebab (causa) perbuatan manusia.

Tak ada seorang pun yang sengaja ingin berbuat jahat.

Thanos yang melenyapkan separuh makhluk semesta pun punya niat baik: mencipta keseimbangan. Dunia yang begitu kotor dan penuh rasa sakit harus menemukan titik seimbang baru. Pendapat Thanos itu menjadi pandangan tertutup yang amat kukuh. Tapi yang tertutup sekalipun akan menjadi kenyataan jika ia ditopang oleh kekuatan penghancur dari infinity stone.

Akatsuki, kelompok jawara dalam anime Naruto pun mempunyai niat baik saat merancang rencana Tsukuyomi tak terbatas. Bagi mereka, dendam akibat perang tidak akan bisa berhenti sampai kapan pun. Satu-satunya cara menghentikan kejahatan perang adalah dengan membuat semua orang hidup dalam mimpi. Dengan begitu kedamaian pun akan datang.

Untuk mencapai tujuan itu, maka seluruh kedaulatan manusia harus dilenyapkan. Manusia akan menjadi hanya sebatas dia-yang-bermimpi. Keinginan Akatsuki hampir saja terjadi karena mereka memanggil kekuatan penghancur dari para dewa.

Bagi Anda yang gemar nonton sinetron, tentu logika ini akan sulit dimengerti. Karena kejahatan dan kebaikan dalam dunia sinema elektronik kita dikonstruksi dengan begitu naif.

Manusia selalu terbagi dalam dua kubu, "yang baik sepenuhnya" dan "yang jahat sepenuhnya". Yang baik selalu menang dan mendapatkan akhir bahagia, sementara yang jahat selalu kalah dan mendapat akhir yang sengsara. Sinema kita masih terlalu kekanak-kanakan.

Balik lagi, di sekitar kita, misal ada orang korupsi, ngentit uang negara, atau menerima gratifikasi, tentu maksud dia bukanlah untuk berbuat jahat melainkan untuk kebaikan. Mungkin tujuannya untuk menghidupi mesin politiknya, memenuhi proposal dari masyarakat, meningkatkan level hidupnya, atau untuk menyekolahkan anaknya, atau menyumbang majelis agama dan yayasan amal.

Pun saat seseorang menyontek, tentu niatnya bukan untuk menjahati guru atau institusi pendidikan. Melainkan agar dia lulus dan mendapatkan nilai baik.

Bagi filsuf seperti Platon, kejahatan terjadi karena seseorang tidak tahu apa yang sebenar-benarnya baik, kejahatan muncul karena kesalahpahaman tentang
kebaikan. Lebih dalam, kejahatan muncul karena ada "keterlupaan" terhadap apa yang baik.

Sangat menarik kalau kita lihat bagaimana Sokrates berusaha mencari kebaikan yang oleh kaum Sofis dianggap tidak ada. Dalam catatan Platon, Sokrates diceritakan punya hobi ngobrol ngalor ngidul. Dia mendatangi banyak orang di pasar, pelabuhan, dan tempat-tempat keramaian. Di sana dia bertanya kepada setiap orang tentang "yang baik". Dia berdebat dan bertanya kepada siapa saja hingga habis semua tanya. Dari situ dia menemukan ada kecenderungan yang sama dari setiap jawaban orang-orang.

Para pedagang punya jawaban yang cenderung sama tentang apa itu pedagang yang baik. Begitu seterusnya.

Sangat menarik, tentang apa yang baik, Sokrates mendapatkannya dengan dialog. Dengan begitu, kebaikan erat kaitannya dengan konsensus. Dia tidak datang dalam kesendirian. Sejak itu, cara seperti ini kerap digunakan untuk merumuskan tentang apa yang baik.

Maka jika ada yang mengaku baik dan menang kontestasi, alangkah eloknya untuk membuka diri dan beradu data di depan publik. Saya tahu dan yakin semuanya punya niat baik membangun bangsa ini. Tapi itu tadi, jangan-jangan tindakan mengaku benar sendiri adalah kejahatan yang timbul dari kesalahpahaman terhadap kebaikan.

Saya berandai-andai jika saja Thanos tidak keras kepala. Jika saja organisasi Akatsuki tidak dibangun atas rasa sakit dan frustasi. Tentu ceritanya akan lain. Dengan begitu tulisan ini tak akan pernah ada.[]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...