Skip to main content

Tarling Dariah; Spiritualitas Syattariyah dalam Lirik Lagu "Gambaran Urip"




Gambarane wong urip ning alam dunia
(Gambaran manusia hidup di dunia)

Lir upama wayang kang lagi cerita
(Seperti wayang yang sedang memainkan cerita)

Ora daya lan ora upaya
(Tidak ada daya dan upaya)

Terserah dalang kang duwe kuasa
(Terserah dalang yang punya kuasa)

*** 

Bait di atas bukan puisi, bukan pula senandung lirih para salik. Ia adalah lirik lagu tarling. Iya, tarling. Lirik yang dinyanyikan bersama alunan gitar, suling, dan seperangkat alat musik lainnya.

Musik tarling dangdut yang berkembang di wilayah Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya identik dengan kesan seronok dan vulgar. Tak jarang para penyanyi musik ini mengenakan pakaian minim saat beraksi di atas panggung. Meski tidak semua, tapi citra itu terlanjur melekat.

Untuk fenomena satu ini, kita sering menyalahkan para pelaku seni. Saya pun kerap berpikir demikian. Bagaimana tidak marah? Pertunjukkan tarling di zaman ini sudah bertransformasi menjadi ‘organ dangdut’ yang menyodorkan ‘pemandangan’ mencemaskan.

Tapi kadang saya juga berpikir, diakui atau tidak, seni, termasuk tarling adalah cermin masyarakatnya. Bukankah aksi panggung para penyanyi, musik, lirik lagu dan lainnya disesuaikan dengan minat dan permintaan masyarakat? Toh, masyarakat penonton semakin menyukainya. Jadi salah siapa?

Apapun, kalau kita buka kembali lembaran lama, pada tahun 1960-an, tarling tidak sama seperti sekarang. Selain penampilan para seniman lebih sopan, kebanyakan lirik lagunya bercerita tentang kehidupan sehari-hari bahkan berisi nasihat yang mengandung sisi spritualitas dan kemanusiaan masyarakatnya.

Salah satunya lagu “Gambaran Urip” gubahan Yoyo Suwaryo yang dinyanyikan Hj. Dariah di atas, menunjukkan bahwa lirik lagu tarling pernah berbicara tentang pesan-pesan sufistik. Tarling dan sufi, dua terma yang hari ini tak pernah kita lihat berada dalam satu panggung.

Lagu ini berisi nasihat kepada masyarakat pendengarnya tentang cara memahami kehidupan dan dunia yang serba fana. Salah satu liriknya mengabarkan agar masalah hidup tidak perlu dipikirkan terlalu dalam.

Manusia memang mempunyai keinginan dan kehendak tapi pada akhirnya kehendak Tuhan lah yang akan menjadi kenyataan. Ibaratnya, manusia itu seperti wayang yang segala geraknya apa kata dalang.

Awal mula saya menduga bahwa lagu ini terpengaruh Jabariyah, sebuah aliran teologi Islam klasik. Dalam keyakinan Jabariyah, jalan hidup manusia sudah ditentukan dan manusia terpaksa (ijbar) untuk menerimanya. Manusia hanya menerima keadaan tanpa memiliki pilihan dan usaha.

Pandangan ini menerima kehidupan apa adanya. Segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qadla dan qadar Tuhan yang tertulis di lauh mahfuzh.
Tapi kemudian saya berubah pikiran, lirik tarling itu bukan pengaruh teologi, melainkan tasawuf. 

Pertama, saya masih meyakini hanya di dalam humus tasawuf, pohon seni bisa tumbuh dengan subur. Tasawuf tidak membatasi manusia untuk berkesenian. Seni (mungkin dengan sastra) adalah media yang paling mungkin bagi seorang sufi untuk mengatakan ‘sesuatu’ yang tak bisa dijelaskan akal.

Kedua, jika melihat sejarah Islam yang berkembang di Cirebon masa Kesultanan, semakin kuat dugaan saya lirik lagu tersebut lebih merupakan pengaruh ajaran Tarekat Syattariyah. 

Dalam ajaran Tarekat Syattariyah di Cirebon ada sebuah pesan bahwa urip iku mung derma wewayangan. Hidup hanya (mengikuti) alur cerita wayang. Mungkin dari sinilah inspirasi lahirnya lirik lagu di atas.

Pesan yang sama dengan ungkapan dalam budaya Jawa: urip mung mampir ngombe. Hidup hanya mampir untuk minum. Al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa hidup adalah permainan dan senda gurau belaka.

Bukti penyebaran tarekat ini di Cirebon sangat melimpah, dari mulai naskah, artefak, cerita rakyat, puji-pujian, ajaran-ajaran, dan sebagainya. Salah satunya adalah manuskrip yang ditulis Mbah Muqoyim tentang tarekat ini. Manuskrip tersebut ditulis di tempat pelariannya di Batang, Jawa Tengah. Dia bai’at Syattariyah kepada Kiai Tolabuddin, Batang.

Mbah Muqoyim adalah seorang mufti di Keraton Kanoman, Cirebon. Sebelum dia memutuskan untuk keluar dari istana dan memilih jalan sunyi tarekat dan membangun kekuatan-pengetahuan masyarakat lewat pesantren. Sebuah pilihan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda yang pengaruhnya di keraton semakin kuat.

Tarekat Syattariyah semakin menyebar saat Mbah Muqoyim mendirikan pesantren yang sekarang disebut Pesantren Buntet.

Selanjutnya, Kiai Sholeh Zamzami atau yang biasa disebut Mbah Kiai Sholeh, anak keempat dari Kiai Mutta’ad, cucu-menantu Mbah Muqoyim, membawa Syattariyah ke Benda Kerep, Kota Cirebon. 

Mbah Sholeh merupakan mursyid taraket Syattariyah berdasarkan penunjukkan dari kakak iparnya, Kiai Anwarudin Kriyani Al-Malibari atau Ki Buyut Kriyan. Nyai Ruhillah, istri Buyut Kriyan adalah anak sulung Kiai Mutta’ad.[]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: