Gambarane
wong urip ning
alam dunia
(Gambaran
manusia hidup di dunia)
Lir upama
wayang kang lagi cerita
(Seperti
wayang yang sedang memainkan cerita)
Ora daya lan
ora upaya
(Tidak
ada daya dan upaya)
Terserah
dalang kang duwe kuasa
(Terserah
dalang yang punya kuasa)
Bait di atas bukan puisi, bukan pula senandung lirih para
salik. Ia adalah lirik lagu tarling. Iya, tarling. Lirik yang dinyanyikan
bersama alunan gitar, suling, dan seperangkat alat musik lainnya.
Musik tarling
dangdut yang berkembang di wilayah Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya identik
dengan kesan seronok dan vulgar. Tak jarang para penyanyi musik ini mengenakan
pakaian minim saat beraksi di atas panggung. Meski tidak semua, tapi citra itu
terlanjur melekat.
Untuk fenomena satu ini, kita sering menyalahkan para pelaku seni. Saya pun
kerap berpikir demikian. Bagaimana tidak marah? Pertunjukkan tarling di zaman
ini sudah bertransformasi menjadi ‘organ dangdut’ yang menyodorkan
‘pemandangan’ mencemaskan.
Tapi kadang saya juga berpikir, diakui atau tidak, seni, termasuk tarling adalah cermin
masyarakatnya. Bukankah aksi
panggung para penyanyi, musik, lirik lagu dan lainnya disesuaikan dengan minat dan permintaan masyarakat? Toh,
masyarakat penonton semakin menyukainya.
Jadi salah siapa?
Apapun, kalau kita buka kembali lembaran lama, pada tahun 1960-an, tarling tidak sama
seperti sekarang. Selain penampilan para seniman lebih sopan, kebanyakan lirik lagunya bercerita tentang
kehidupan sehari-hari bahkan berisi nasihat yang mengandung sisi spritualitas
dan kemanusiaan masyarakatnya.
Salah satunya lagu
“Gambaran Urip” gubahan Yoyo Suwaryo yang dinyanyikan Hj. Dariah di atas, menunjukkan bahwa lirik lagu tarling pernah berbicara tentang pesan-pesan
sufistik. Tarling dan sufi, dua terma yang hari ini tak pernah kita lihat
berada dalam satu panggung.
Lagu ini berisi
nasihat kepada masyarakat pendengarnya tentang cara memahami kehidupan dan
dunia yang serba fana. Salah satu liriknya mengabarkan agar masalah hidup tidak perlu dipikirkan terlalu dalam.
Manusia memang
mempunyai keinginan dan kehendak tapi pada akhirnya kehendak Tuhan lah yang
akan menjadi kenyataan. Ibaratnya, manusia itu seperti wayang yang segala
geraknya apa kata dalang.
Awal
mula saya menduga bahwa
lagu ini terpengaruh Jabariyah, sebuah
aliran teologi Islam klasik. Dalam keyakinan Jabariyah, jalan hidup manusia sudah ditentukan dan
manusia terpaksa (ijbar) untuk
menerimanya. Manusia hanya menerima keadaan tanpa memiliki pilihan dan usaha.
Pandangan ini
menerima kehidupan apa adanya. Segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh qadla dan qadar Tuhan yang tertulis di lauh mahfuzh.
Tapi kemudian saya berubah pikiran, lirik tarling itu
bukan pengaruh teologi, melainkan tasawuf.
Pertama, saya masih meyakini hanya di dalam humus tasawuf, pohon
seni bisa tumbuh dengan subur. Tasawuf tidak membatasi manusia untuk
berkesenian. Seni (mungkin dengan sastra) adalah media yang paling mungkin bagi
seorang sufi untuk mengatakan ‘sesuatu’ yang tak bisa dijelaskan akal.
Kedua, jika melihat sejarah Islam yang berkembang di Cirebon
masa Kesultanan, semakin kuat dugaan saya lirik lagu tersebut lebih merupakan
pengaruh ajaran Tarekat Syattariyah.
Dalam
ajaran Tarekat Syattariyah di Cirebon ada
sebuah pesan bahwa urip iku mung derma wewayangan. Hidup hanya
(mengikuti) alur cerita wayang.
Mungkin dari sinilah inspirasi lahirnya lirik lagu di atas.
Pesan yang sama dengan ungkapan dalam budaya Jawa: urip
mung mampir ngombe. Hidup hanya mampir untuk minum. Al-Qur’an sendiri
mengatakan bahwa hidup adalah permainan dan senda gurau belaka.
Bukti penyebaran tarekat ini di Cirebon sangat melimpah,
dari mulai naskah, artefak, cerita rakyat, puji-pujian, ajaran-ajaran, dan
sebagainya. Salah satunya adalah manuskrip yang ditulis Mbah Muqoyim tentang
tarekat ini. Manuskrip tersebut ditulis di tempat pelariannya di Batang, Jawa
Tengah. Dia bai’at Syattariyah kepada Kiai Tolabuddin, Batang.
Mbah Muqoyim adalah seorang mufti di Keraton Kanoman,
Cirebon. Sebelum dia memutuskan untuk keluar dari istana dan memilih jalan
sunyi tarekat dan membangun kekuatan-pengetahuan masyarakat lewat pesantren. Sebuah pilihan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda yang pengaruhnya di
keraton semakin kuat.
Tarekat Syattariyah semakin menyebar saat Mbah Muqoyim
mendirikan pesantren yang sekarang disebut Pesantren Buntet.
Selanjutnya, Kiai Sholeh Zamzami atau yang biasa disebut
Mbah Kiai Sholeh, anak keempat dari Kiai Mutta’ad, cucu-menantu Mbah Muqoyim,
membawa Syattariyah ke Benda Kerep, Kota Cirebon.
Mbah Sholeh merupakan mursyid taraket Syattariyah
berdasarkan penunjukkan dari kakak iparnya, Kiai Anwarudin Kriyani Al-Malibari
atau Ki Buyut Kriyan. Nyai Ruhillah, istri Buyut Kriyan adalah anak sulung Kiai
Mutta’ad.[]
Comments
Post a Comment