BUKU Tuhan (Karen Armstrong) selalu menarik bagi saya. Buku ini saya baca berkali-kali dan setiap kali membacanya kembali tak ada rasa bosan sedikitpun.
Salah satu kelebihannya, meski menampilkan data-data yang sangat banyak, pembaca awam seperti saya bisa mengikutinya dengan mengasyikkan. Sebab buku disajikan dengan gaya bertutur. Saya seperti sedang membaca novel.
Salah satu yang menarik dipaparkan di awal bagian buku tentang bagaimana para sarjana mencari jejak-jejak pemikiran manusia (ide) tentang Tuhan.
Karen mengutip Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God (1912), bahwa telah ada satu bentuk monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah dewa. Menusia mulai mengakui adanya Tuhan Tertinggi yang mengatur kehidupan dari kejauhan. Kadang-kadang disebut sebagai Tuhan Langit, yang diasosiasikan dengan ketinggian.
Anehnya, Tuhan tidak pernah hadir dalam kehidupan dan dia tak pernah tampil dalam penggambaran. Dia tak bisa diekspresikan dan tak dapat dicerna oleh manusia. Tuhan ini telah menjadi begitu jauh dan terlalu bagi manusia. Di zaman kuno, Tuhan Tertinggi digantikan roh dan dewa-dewa pagan.
Rudolf Otto dalam The Idea of the Holy (1917) percaya bahwa rasa tentang yang gaib adalah dasar dari agama. Pada periode Paleolitik [Zaman Batu Tua (50.000 SM)], ketika pertanian mulai berkembang, kultus tentang Dewi Ibu untuk mengungkapkan perasaan tentang kesuburan.
Di Eropa, Timur Tengah dan India, arkeolog menemukan penggambaran Dewi Bumi berupa pahatan patung seorang perempuan hamil telanjang.
Dewi Ibu ini kemudian ada di hampir semua peradaban, di antaranya dia disebut Inana di Sumeria Kuno, Isytar di Balilonia, Anat di Kanaan, Isis di Mesir, dan Aphrodite di Yunani.
Saya jadi teringat di Nusantara, kita mengenal Dewi Sri yang disebut juga sebagai dewi kesuburan. Mungkin ada pengaruh mitologi India dalam kepercayaan ini tapi yang pasti Dewi Sri sudah dimuliakan sejak zaman kerajaan kuno di Jawa.
Di Jawa, orang-orang menggelar ritual Mapag Sri dan Sedekah Bumi yang secara simbolik merupakan upaya manusia untuk menjaga keselarasan dengan Yang Tinggi.
Di Sunda Wiwitan dikenal ritual Seren Taun. Kearifan budaya tersebut menjaga manusia agar tetap bersahaja terhadap alam dan tidak rakus.
Kita melihat kepercayaan ini, melalui ritual-ritual itu, 'menjaga' perilaku manusia agar tetap dalam koridor yang tepat, jalan yang lurus, jalan Yang Tinggi.
Kita juga bisa melihat di sini bahwa dunia manusia adalah dunia arketipal dunia atas, dunia yang tak tercerap indera.
Dalam peradaban dunia kuno, manusia percaya akan menjadi manusia sejati saat terlibat dalam kehidupan yang suci, meniru cara-cara Yang Tinggi, dewa.
Dewa memang bersemayam di langit, tapi mereka direplikasi ke dalam alam nyata dalam bentuk kuil-kuil di dunia. Dunia manusia adalah replika dunia para dewa, dan ke arah itulah manusia menuju, ke ideal-ideal yang ada dalam alam kedewataan. Persepsi inilah yang membentuk mitologi.
Di Iran dikenal dunia jasadi (getik) merupakan dunia arketipal yang suci (menok). Meniru Tuhan masih menjadi ajaran yang penting bagi Agama.
Spritualitas yang serupa menjadi ciri orang Sumeria, Mesopotamia di lembah Tigris-Efrat (4.000 SM). Akkadian Semitik menginvasi Mesopotamia dan mengadopsi peradaban Semitik. 2000 SM, orang Amorit menaklukkan Sumeria-Akkadian dan menjadikan Babilonia ibukota mereka.
Pada 1500 SM, orang Asyur menguasai Babilonia hingga 800 SM. Tradisi di Babilonia memengaruhi agama dan mitologi Kanaan, tanah yang dijanjikan bagi orang Israel Kuno.
Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, di mana candi-candi dan bangunan di dalamnya adalah replika dari kerajaan langit. Ritual dan perayaan dilakukan sebagai keterkaitan dengan alam suci.
Stabilitas politik akan terwujud jika masyarakat berpartisipasi dalam pemerintahan dewa yang abadi. Dalam upaya itu, setiap tahun digelarlah Festival, perayaan sebelas hari, penyembelihan domba, dan ritual lainnya.
Setiap perbuatan simbolik memiliki nilai sakramental yang mampu menenggelamkan diri ke dalam kekuatan suci. Diri melebur dalam kesatuan masyarakat yang terberkati.
Dewa Modern
Kita tentu bisa menyebutkan perilaku spiritual manusia di sekitar kita seperti, Nadran, Sedekah Bumi, Slametan, Panjang Jimat, dll. Ritual ini serupa dengan upacara yang dilakukan oleh orang-orang dalam peradaban lain di dunia.
Ritual ini semua adalah sebuah upaya simbolik untuk mencapai dunia yang sejahtera, harmonis, tenteram, gemah ripah loh jinawi. Yang berdasar pada keyakinan untuk meniru atau mereplikasi sesuatu ‘yang ideal’.
Lalu di zaman modern yang rasional ini, masih efektifkah kita melakukan hal yang tidak rasional tersebut?
Yuval Noah Harari memberikan sedikit ilustrasi bagaimana semua penggambaran “yang ideal” itu masih berlangsung hingga sekarang. Mungkin sampai kapan pun.
Menurutnya, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah karena manusia bisa menciptakan imajinasi. Dan pada saat yang sama, imajinasi itu dipercayai banyak orang.
Bahkan di dunia yang semakin modern ini, di mana tulisan mulai dibakukan, imajinasi menjadi semakin irasional, abstrak, dan tak terjelaskan.
Orang modern merasa sudah sedemikian maju dibandingkan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, tapi sebenarnya mereka tak pernah beranjak dari menyerupai nenek moyangnya yang memercayai dewa-dewa dan roh halus.
Kalau manusia modern mengatakan bahwa nenek moyang mereka di zaman kuno “tidak rasional” karena mempercayai imajinasi tentang roh halus, maka mereka pun seharusnya mengatakan bahwa diri mereka “tidak rasional” karena mempercayai imajinasi tentang uang, tentang korporasi, tentang demokrasi, dan tentang banyak hal lainnya.
Bedanya mungkin tipis-tipis saja, yang pertama adalah hasil dari peradaban kuno sehingga berwatak komunal, sementara yang kedua lahir di zaman modern yang tentunya berwatak individual.
Menurut Harari, dari sekian imajinasi yang paling dipercayai oleh orang-orang di zaman ini bukanlah Tuhan, bukan agama, bukan nasionalisme, bukan pula demokrasi, melainkan uang.
Uang dipercayai semua orang, tanpa terkecuali, oleh semua bangsa, oleh semua suku, oleh semua bahasa, oleh semua haluan politik, oleh semua ideologi.
Uang adalah imajinasi bersama kita, saat ini. Dalam kata-kata yang lebih tegas, uang-lah agama dan Tuhan kita sekarang. Benarkah demikian?[]
Comments
Post a Comment