FILSAFAT itu bukan hanya akal. Juga tak cuma teori. Ia adalah hubungan erat antara teori dan praksis kehidupan. Karena tidak ada cara berpikir atau pengetahuan yang bisa melampaui sejarah, filsafat sekalipun.
Teori-teori para filsuf selalu terkonteks meskipun sang filsuf menghendaki hal yang berbeda. Sebab tak ada manusia (filsuf termasuk manusia juga toh) yang bisa keluar dari ruang dan waktu. Itulah kenapa filsafat selalu terkonteks.
Filsafat lahir dari pergumulan manusia dengan realitas. Ia bukan seberkas cahaya yang tiba-tiba turun menyinari pikiran manusia tanpa alasan. Maka teori-teori filsafat yang melangit itu harus selalu dibaca sepaket dengan realitas praksisnya.
Andai tidak begitu, filsafat hanyalah hafalan atau metode berpikir yang ngawang-ngawang.
Jadi kalau ada orang yang bicara teori filsafat tanpa memahami konteks mungkin dia baru belajar filsafat. Atau mungkin filsuf karbitan yang caper, alias cari perhatian. Seperti kebanyakan alasan mahasiswa baru memilih jurusan filsafat, agar dia kelihatan keren.
Kita bisa ngomong tentang teori humanisme sejernih-jernihnya. Tapi tak arif kalau tidak menjelaskan dinamika humanisme di berbagai belahan dunia. Dari dulu hingga sekarang. Termasuk saat ia diadopsi para pendiri bangsa.
Humanisme seperti apa yang para pendiri bangsa kehendaki? Apakah humanisme yang persis sama dengan humanisme ala Barat? Ataukah berbeda? Situasi seperti apa yang membentuknya? Perdebatannya seperti apa?
Apakah nilai-nilai kemanusiaan hanya ada pada humanisme ala Barat? Apakah yang menjunjung tinggi kemanusiaan hanya humanisme Barat, sementara manusia di belahan negara lain tak memahami itu?
Apakah humanisme yang paling jernih itu yang dari Barat, beberapa ratus tahun lalu itu? Lalu di manakah ia sekarang, masih kah masih berada di Barat yang sekarang sedang terkena flu populisme? Mana yang jernih itu?
Lalu apakah setiap kata kemanusiaan, keadilan, persatuan, demokrasi, itu berarti humanisme ala Barat? Apakah Pancasila sama persis dengan humanisme Barat?
Premismu jelas ngawur, Bung.
Kamu membuka tabir tentang humanisme hanya dari satu pintu sambil menutup pintu-pintu lainnya. Hasilnya, konklusimu tentang Pancasila itu juga luar biasa ngawur.
Lalu buat apa saya percaya omonganmu?[]
Comments
Post a Comment