Skip to main content

Kengulu, Kesel, dan Betapa Indahnya Indonesia


TERNYATA saya baru tahu, setelah sekian lama tinggal di Cirebon, dan menikah dengan dengan orang Cirebon, istriku masih belum ngerti istilah dalam bahasa Cirebon: KENGULU atau KANGULU. Haha.. saya ketawa saja saat dia coba menerka-nerka, apa itu KANGULU?

Padahal kan istriku itu orang Brebes, tak jauh jaraknya dari Cirebon. Tapi ternyata masalah bahasa ada banyak kosakata yang berbeda. Saya juga kadang tak tahu beberapa kosakata orang Brebes. Bukan hanya masalah perbedaan logat.

Pernah suatu hari, saya nambal ban di daerah Dumeling, tak jauh dari rumah mertua saya. Di situ orang yang nambal ban mengatakan kalimat yang saya keliru memahami maksudnya. Dia bilang, "KESEL ya mas ndorong motor e adoh," dengan logat Brebes yang khas.

Akhir-akhir saya baru tahu kata KESEL itu artinya capek. Bukan kesal, marah, atau geram. Pantes waktu itu obrolan saya dengan tukang tambal ban itu jadi ngga nyambung. Haha..

Desaku, Kertasura, terletak di kecamatan paling utara di Kabupaten Cirebon. Berbatasan sebelah selatan dengan Desa Suranenggala. Masyarakat kedua desa ini memiliki logat bahasa yang berbeda.

Orang Suranenggala mengucapkan kata yang berakhiran a dengan huruf o. Apa menjadi apo, sira menjadi siro, dll. Mungkin mirip dengan orang Plered dan sekitarnya tapi juga berbeda dengan orang Jawa. Sedangkan orang-orang di desaku menggunakan huruf a.

Konon katanya, ketika kedua desa ini tawuran akbar dua dekade yang lalu, orang-orang mendeteksi sesorang berasal dari desa mana cukup dari cara ngomongnya, dari bahasanya. Tidak perlu lihat KTP.

Itu baru antar desa. Sudah sangat berbeda. Belum lagi tingkat kecamatan. Lalu kabupaten, provinsi, pulau-pulau, Nusa Antara. Betapa banyak perbedaan itu.

Itu baru perbedaan bahasa. Belum lagi perbedaan lain. Agama, keyakinan, pilihan politik, tradisi, kepercayaan, warna kulit, dan sebagainya.

Bisa dibayangkan, manusia-manusia yang mendiami Nusa Antara itu beraneka rupa. Berbeda-beda. Warna-warni. Tak ada yang sama.

Ada yang beranggapan, perbedaan inilah yang terus menghantui NKRI. Hantu perpecahan. Hantu peperangan. Hantu kehancuran.

Tapi orang-orang Nusa Antara bukan manusia yang lahir kemarin sore. Nusa Antara tertempa ratusan ribu tahun berada dalam perbedaan, tapi satu jua.

Laut yang memisahkan bukanlah batas, tapi pemersatu. Itulah makna Nusa Antara. Pulau-pulau yang terpisah bukanlah tanda bahwa orang-orangnya terpecah belah. Sebaliknya, keterpisahan itu yang selalu mengundang rindu untuk bertemu.

Pidato Jokowi dalam Harlah Muslimat ke-73 membuka kembali semangat agar kita kembali mengingat perbedaan bangsa kita itu Indah. Sebagaimana para cendekiawan kuno meyakini bahwa jiwa Nuswantara adalah bhinneka tunggal ika.

Kalau sekarang, orang-orang di sekitar kita lupa jatidiri bangsa ini, ingatkan mereka untuk kembali. Kalau sekarang saudara-saudara kita ada yang meyakini dirinya yang paling benar, tidak menolerir perbedaan, dan tidak menghormati yang berbeda, maka mari ingatkan.

Kalau di medsos banyak yang nyebar hoaks dan fitnah dan tak sadar bisa mengancam jatidiri bangsa yang moderat dan toleran, tegurlah dengan keras. Ingatkan dia. Karena sudah saatnya yang waras jangan diam. Bukan karena benci tapi karena inilah local genuine Nuswantara.[]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: