Skip to main content

Kinjeng


SALAH satu hobi saya sewaktu kecil di kampung nan asri, blok Siwalan, Desa Kertasura adalah berburu capung. Orang-orang di daerahku menyebutnya 'kinjeng'. Orang berbahasa Inggris menyebutnya 'dragonfly'.

Bisa dikatakan, hampir setiap hari, terutama saat musim kinjeng, saya paling senang memburunya. Sekadar untuk mainan ataupun untuk kasih makan ayam di rumah.

Dulu masih banyak karang (tanah) yang berpohon lebat, suwung. Tak jarang saya dan kawan-kawan ngrusuk2 untuk sekadar nagrup (menangkap) kinjeng. Kinjeng sering ditemukan sedang hinggap di daun, ranting-ranting, atau dahan pohon. Pohon asem, mangga, jambu, kersem, ketapang, bambu, padi, kangkung, rumput ilalang, hingga gayam.

Karakter kinjeng karang suwung adalah suka tidur. Lebih mudah ditangkap. Tapi harus hati-hati juga, sebab kalo berisik sedikit bisa langsung kabur dia.

Berbeda dengan kinjeng karang, kinjeng di lapangan terbuka, sungai, atau hamparan sawah terlihat lebih liar. Kinjeng di tempat terbuka lebih sigap dan terlihat selalu waspada. Ada manusia mendekat saja langsung kabur mereka.

Dari sekian banyak jenis kinjeng saya masih ingat beberapa. Yang paling kecil disebut 'kinjeng dom'. Dom artinya jarum. Kinjeng ini paling kecil ukurannya segede jarum. Makanya disebut kinjeng dom.

Kemudian yang lebih besar dari itu adalah 'kinjeng tik'. Kalau kinjeng dom seperti jarum, kinjeng tik lebih bulat. Warnanya ada yang kuning, hijau, ungu, dan sebagainya.

Lalu ada 'kinjeng bo', atau 'kinjeng kebo'. Warnanya loreng seperti sedang memakai seragam pasukan militer. Ini jenis kinjeng predator yang suka memangsa kinjeng lainnya.

Kemudian ada 'kinjeng bang' atau 'kinjeng abang'. Sesuai namanya, warnanya merah menyala. Sangat cantik.

Kinjeng bang ada dua jenis. Yang di lapangan terbuka berwarna sepenuhnya merah. Sementara yang di karang mempunyai banyak motif atau batik indah di badan dan terutama sayapnya. Motif ini seperti yang terdapat pada sayap kupu-kupu.

Selanjutnya, 'kinjeng tos' yang berwarna kuning. Ini juga ada dua macam. Yang di lapangan berwarna kuning sepenuhnya, tanpa batik. Sementara 'kinjeng tos' yang di karang mempunya motif batik yang cantik.

Ada juga 'kinjeng trum' (tanpa huruf P) yang hidup, terbang dan hinggap berkoloni. Warnanya orange dan berbadan agak besar dari 'kinjeng tos'. Kinjeng jenis ini cukup mudah ditangkap.

Ada juga 'kinjeng terasi'. Kenapa namanya demikian? Karena warnanya hitam legam. Beberapa berwarna agak kebiru-biruan. Yang hidup di karang ukurannya sedikit lebih besar dibanding yang di lapangan atau sawah.

Dari sekian banyak jenis yang paling besar dari spesies kinjeng di daerahku adalah 'kinjeng gaja'. Terlihat dari namanya bukan? Tapi bukan berarti ukurannya sebesar gajah.

Ya, besarnya palingan sebatas kelingking orang dewasa. Matanya besar dan warnanya dominan hijau, terutama yang betina. 'Kinjeng gaja' jantan biasanya ada motif orange di pangkal ekornya.

Tapi dari semua jenis kinjeng, yang paling eksotis, paling cantik, paling sulit ditemukan dan yang paling sulit ditangkap adalah 'kinjeng penganten'.

Ada unsur mistik juga tentang kinjeng ini. Konon katanya, kinjeng yang punya warna cerah dan motif batik warna-warni ini, berkaitan dengan arwah. Dia adalah jelmaan roh-roh orang yang sudah meninggal. Entahlah.

Yang pasti kinjeng menandakan kualitas air di suatu daerah. Kalau daerah tertentu masih banyak kinjeng, berarti kualitas air di sungai, sawah, balong, karang, rawa, dan lain-lainnya masih bagus.

Dalam singkat kata, kinjeng menandakan bagusnya ekosistem suatu daerah. Karena kinjeng hanya akan menetaskan telur dan berkembang biak di dalam air yang kualitasnya bagus.

Penanda ekosistem yang lain adalah ikan sapu-sapu. Namun sebaliknya, ikan sapu-sapu menandakan kualitas air sungai sudah semakin buruk. Semakin banyak ditemukan ikan sapu-sapu, semakin besar kandungan timbal dan logam di satu sungai. Semakin buruk juga ekosistem di suatu daerah.

Sekarang, kinjeng sudah jarang kelihatan. Ikan sapu-sapu justru semakin banyak ditemukan.

Padahal menurut catatan, ada sekitar 700 jenis kinjeng di Indonesia, dan 136 jenis di antaranya bisa ditemukan di Jawa. Berbagai daerah menyebut dengan nama yang berbeda. Saya hanya bisa mengingat beberapa dan menuliskannya di atas.

Kata para pakar, capung di Indonesia sebentar lagi punah. Seperti orang Jepang yang menyadari mereka mulai kehilangan kunang-kunang.[]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: