Skip to main content

Penyembah Berhala


MANUSIA memuja Dia Yang Maha Kuasa. Sebagai kekuatan yang tiada tara, Adi manusia. Karena begitu luhurnya, Dia tak terjamah dan tercerna akal.

Manusia itu terbatas dan nisbi. Penilaiannya terhadap sesuatu tak pasti, tak mutlak dan tak ajeg. Hanya Tuhan yang mutlak benar.

Tapi manusia tak kuasa diam dalam ketiadaan Tuhan. Mereka pun mencipta patung-patung sebagai media mendekatiNya. Sebagai alat untuk selalu bersama. Sebagai media untuk sampai kepadaNya.


Lambat laun, patung sebagai media itu menggantikan Tuhan sebenarnya. Tanda-tandanya jelas, patung sebagai ciptaan manusia lebih dimuliakan dibandingkan manusia yang merupakan ciptaan Tuhan.

Manusia dibunuh dan direndahkan demi melestarikan pemujaan berhala. Ini sudah keliru.
Manusia lupa pada kodrat kemanusiaannya.

Para Nabi mengingatkan kita untuk kembali padaNya. Perlakuan kepada manusia pun kembali pada jalan mulia. Derajat orang-orang fakir, miskin, dhuafa, para jompo, perempuan dan siapapun yang terpinggirkan kembali terangkat.

Manusia kembali menyembah pada yang sebenarnya Tuhan saat dia kembali pada kodrat kemanusiannya. Memuliakan manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Tapi sepeninggal Nabi, semua ajarannya mandeg dan membeku menjadi doktrin. Manusia setelahnya menciptakan konstruksi sendiri tentang Tuhan.

Lama kelamaan, konstruksi ini menjadi berhala baru. Menggantikan patung-patung tempo dulu.

Konstruksi manusia tentang Tuhan menggantikan Tuhan. Konstruksi itulah yang memperdaya kita dan seringkali menjadi alasan untuk membunuh sesama manusia.

Berhala itu kini adalah ideologi kita yang picik. Mengaku benar sendiri dan mengkafirkan yang lain.

Berhala itu kini bukan patung-patung itu. Tapi dia ada di dalam pikiran kita. Apa yang pernah disebutkan dalam Al-Quran sebagai 'hawaa'. Sebuah hasrat.

Berhala yang tak terlihat ini lebih berbahaya dibandingkan patung-patung itu. Dia akan bisa kita kenali saat ada kata-kata Tuhan diucapkan tapi justru kekerasan yang dipertunjukkan.

Kata-kata Tuhan digunakan untuk kebohongan, melukai orang, menghina orang, dan merendahkan orang lain. Saat itulah kita sedang menyembah berhala. Hawaa.

Ayo introspeksi, jangan-jangan kita sendiri adalah para penyembah berhala. Bukan mereka yang kita tuduh-tuduh itu.[]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...