PADA suatu siang yang terik, tiba-tiba saja saya dikejutkan sebuah pertanyaan yang cukup pelik. Pertanyaan itu sebenarnya sederhana tapi jawabannya cukup membuatku terkesiap. Salah seorang teman dari Ibu Kota sedang melakukan penelitian tentang radikalisme di Cirebon.
Dia meluncurkan sebuah pertanyaan: “Kenapa santri tidak menjadi radikal, padahal kitab kuning yang diajinya mempunyai pandangan radikal?”
Sebagai orang yang pernah nyantri, tentu saya sedikit kesal dengan pertanyaan ini. Tapi kemudian saya paham, kawan saya itu berasal dari latar belakang ormas agama yang berbeda.
“Tidak ada kitab kuning yang radikal,” jawab saya spontan saja waktu itu.
Kemudian temanku itu menyebutkan satu judul kitab.
Saya pun sedikit berpikir ulang. Benar juga. Kitab tersebut bisa dikatakan radikal dalam arti isinya mengandung larangan banyak hal yang sampai hari ini justru masih dipraktikkan orang-orang Islam di Indonesia, seperti bermain musik, menabuh gendang, meniup seruling. Dan sebagainya.
Saat itu, saya tak bisa menjawab. Tapi akhir-akhir ini saya merenungkan satu hal yang sepertinya menjadi ulasan yang cukup tepat untuk pertanyaannya.
***
Dalam transmisi pengetahuan di pesantren, teks menempati posisi yang cukup dominan. Dasar pengajaran di pesantren adalah kitab kuning. Sebuah teks yang ditulis pada zaman dulu oleh para ulama. Tapi yang juga tak kalah penting kita harus perhatikan bahwa dalam praktiknya teks tersebut disampaikan secara lisan.
Sistem pembelajaran di pesantren biasa menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Meski berdasarkan pada teks, dalam sistem bandongan, seorang kiai tidak hanya menyampaikan apa ‘yang tertulis’, melainkan menyampaikan ‘apa yang dia pahami’ terkait bahasan yang ada di dalam teks.
Di sini kita bisa melihat ‘apa yang dipahami’ seorang kiai merupakan endapan dan refleksi mendalam dari apa yang dia dapat dari teks. Dalam proses pengendapan tersebut, tentu peran pengalaman akan sangat dominan dalam setiap mencerna informasi dari teks.
Bisa dikatakan, semakin tinggi posisi intelektual serta spiritual seorang kiai maka semakin besar dia menggunakan pengalaman sebagai basis penggodokan pengetahuannya.
Teks dari kitab kuning, dengan demikian, akan selalu dibenturkan terlebih dulu dengan konteks kehidupan masyarakat. Selagi kiai terus melakukan transmisi seperti itu, maka pengetahuan yang disampaikan di pesantren akan selalu aktual. Sebagaimana sifat kelisanan, ia selalu aktual.
Dan selagi pengalaman menjadi basis penggodokkan pengetahuan pesantren, maka penerimaan terhadap perbedaan menjadi niscaya. Karena tak ada pengalaman yang sama persis antara manusia satu dengan lainnya. Inilah yang membuat pesantren sangat toleran dan siap menerima perbedaan di tengah masyarakat.
Tentu hal ini tak lepas dari besarnya pengaruh tarekat dalam kehidupan pesantren. Seperti yang diketahui, mistisisme (juga mistisisme Islam; tasawuf) lebih menekankan pada pengalaman dibanding kecanggihan logika.
Bagi mistisisme, realitas tak pernah bisa terjangkau kata-kata. Kata dan definisi tak pernah sanggup merangkup pengalamanan kehidupan manusia, apalagi pengalaman yang sifatnya spiritual.
Sekalipun yang diajarkan kiai adalah fiqh, tapi di pesantren, fiqh tersebut akan dibuat sangat lokal, sangat kontekstual. Fiqh dipahami hanya sebagai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin ini yang disebut Gus Dur sebagai fiqh sufistik, fiqh berkelindan erat dengan tasawuf. Fiqh yang tidak melupakan konteks kehidupan masyarakat yang mempelajarinya.
Barangkali bahasan tentang ‘budak’ masih dituliskan di dalam kitab-kitab fiqh di pesantren, tapi tak sekalipun penjelasan kiai tentang budak adalah ‘penjelasan sungguhan’. Kadang, beberapa kiai melewatkan bahasan ini karena melihat bahasan tersebut sudah tidak kontekstual.
Contoh lainnya, kiai di pesantrenku dulu selalu mengingatkan bahwa ukuran keberhasilan seorang santri belajar di pesantren adalah ilmunya bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat ini erat kaitannya dengan penerimaan masyarakat terhadap santri bersangkutan kelak ketika dia sudah keluar dari pesantren.
Seberapa manfaat ilmu yang diperoleh bukan dari seberapa cerdasnya santri menguasai kitab melainkan dari penerimaan masyarakat kepadanya. Meski kedua hal tersebut biasanya melekat tapi tidak selalu demikian.
Jadi, elemen terpenting dari pesantren itu bukan asramanya, bukan masjid, apalagi teks yang digunakannya, melainkan manusianya: kiai, santri, relasi keduanya dan dialektika keduanya dengan realitas.
Sebagaimana elemen terpenting dalam transmisi pengetahuan pesantren adalah ikatan antara kiai dan santri, dalam hal ini sifat kelisanannya, bukan kitab apa yang dipelajari, atau tekstualitasnya.
Jadi, kenapa santri tidak jadi radikal meski kitab yang diajinya mengajarkan sesuatu yang radikal?
Karena yang utama dari pesantren adalah dialektika kemanusiannya, bukan tekstualitas kitabnya.
Mungkin ini yang tidak ada di lembaga-lembaga pendidikan modern yang justru mengandalkan teks sebagai basis transmisi pengetahuannya.
Mungkin banyaknya lembaga pendidikan modern ini pula yang membuat banyak orang lebih suka menggunakan nalar tekstual saat memahami ajaran agama.
Belajar dari permenungan di atas, saya mengusulkan untuk menghidupkan kembali visi kelisanan di setiap kita membaca teks, terutama teks dari masa lampau.
Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Semoga saya bisa menuliskannya esok hari.[]
Comments
Post a Comment