Skip to main content

Bendera


"Semakin ringkas suatu konsep, semakin dia jauh dari realitas."

Begitulah kata seorang fisikawan yang akhirnya jatuh cinta pada filsafat Tao, Fritjof Capra.

Realitas memang terlalu kompleks untuk bisa diringkas dalam sebuah konsep mati. Seperti kata-kata, maupun simbol-simbol tertentu.

Tapi kita tak nyaman terus bergumul dengan realitas. Realitas terlalu sulit untuk dipahami akal. Terlalu ambigu. Terlalu kompleks. Terlalu banyak yang membingungkan.

Representasi kita atas realitas jauh lebih mudah dipahami ketimbang realitas itu sendiri. Lambat laun, pelan tapi pasti, kita menganggap konsep itu sebagai realitas.

Dalam momen-momen tertentu, kita selalu tergoda untuk lebih mempercayai konsep dibandingkan realitas.

***

Andai kita menginjak kain, tak akan ada yang marah. Tak bakal ada seorang pun menyalahkan.

Berwarna hijaukah kain itu. Ataukah merah. Atau biru. Atau putih. Atau apapun.

Tapi ketika ada kain berwarna merah dan putih yang dijahit jadi satu, jangankan menginjak. Kita taruh saja di tanah, semua orang barangkali akan mencela.

Itulah cerita tentang bendera. Bendera bisa jadi terbuat dari kain. Tapi dia bukan kain biasa. Melainkan sebuah perasan, simbol, konsep dari ideologi dan falsafah masyarakat pemiliknya.

Bendera adalah pedoman hidup masyarakatnya. Hidup matinya. Simbol martabat dan harga diri.

Jadi jelas saja kalau kita merasa terhina saat Merah Putih dilecehkan. Atau tak sengaja disepelekan.

Bendera adalah konsep. Representasi atas ideologi tertentu. Bendera hitam yang bertuliskan kalimat berbahasa Arab, yang sedang viral itu adalah konsep.

Bisakah kita menebak mana realitas yang berdiri di balik bendera tersebut?

Kalau bendera itu sebuah penanda (signifier), di manakah petandanya (signified)?

***

Sebagai penanda, bendera hitam itu jelas petandanya yakni sebuah realitas berupa ormas yang punya ideologi terlarang. Yang keberadaannya tak dikehendaki banyak negara dunia, termasuk Indonesia.

Nah, hubungan antara signifier dan signified niscaya bukan hubungan baku. Tidak kaku melainkan dinamis.

Inilah mengapa, bendera hitam itu yang awalnya jelas-jelas sebagai representasi satu ormas terlarang tiba-tiba saja berubah menjadi seolah-olah representasi yang sebenar-benarnya Islam.

Itu bukan bendera HTI, melainkan 'bendera bertuliskan kalimat tauhid.' Itu 'bendera tauhid.'

Kalau kita cermati cara kerja penggantian hubungan signified-signifier kira-kira yang terjadi adalah demikian:

Langkah pertama dengan melakukan penyanggahan. Bahwa konsep itu bukankah representasi sebagaimana yang sudah dipahami publik. "Ini bukan bendera HTI."

Ini adalah upaya pendelegitimasian makna pertama. Signified awal berusaha untuk dilucuti. Petanda dengan begitu menjadi kosong akan makna.

Kenapa mesti dikosongkan? Sebab makna awal tidak menarik simpati publik. Tak akan ada yang simpati terhadap ormas yang terang-terangan terlarang.

Kedua, menyerukan petanda baru sebagai realitas yang lebih benar dibanding yang pertama. Lebih sahih dan tentu saja, lebih potensial didukung banyak orang. Sebuah penanda yang sensitif bagi orang banyak: ketauhidan.

Karena apapun aliran Islamnya, tauhid selalu menempati wilayah sakral seseorang. Dengan begitu, makna baru ini akan lebih potensial didukung banyak orang.

Ketiga, mengerahkan banyak orang, para pendukung makna baru, dalam satu medan kenyataan. Dalam hal ini demonstrasi adalah cara yang sah dalam logika demokrasi.

Sebuah hubungan signifier-signified baru membutuhkan tubuh agar menjadi nyata dan berubah menjadi sebuah gerakan.

Mau jadi apa nanti setelah ada gerakan mungkin akan ada agenda berikutnya. Saya hanya menduga-duga, ini ada kaitannya dengan Pilpres.

***

Ada niat tersembunyi yang tidak bisa terwakili konsep. Ingat, tanda selalu mereduksi realitas. Ada yang tidak bisa digambarkan, utamanya yang berada di belakang layar.

Yang jelas, saya melihat dalam gaduh bendera akhir-akhir ini ada pihak yang sedang mempermainkan penandaan.

Ada pendulum makna yang ingin digeser. Dari yang tadinya realitas sebenarnya menjadi realitas rekaan.

Realitas sebenarnya itulah ideologi HTI yang menghendaki khilafah. Realitas pengecohnya adalah kalimat tauhid, kalimat suci.

Kita akan benar-benar terkecoh jika kita, dalam bahasa Capra di atas, sudah melupakan realitas sebenarnya dan hanya melihat benderanya.

Kita akan terkecoh jika dalam gaduh-gaduh ini kita melupakan HTI. Dan hanya fokus di benderanya saja. Kawan, kita sedang dipermainkan.

Kita akan tertipu jika asosiasi kita adalah bukan ke HTI-nya. Justru ikut mempercayai bahwa itu benar-benar kalimat tauhid.

Tapi itulah pewacanaan yang terus digulirkan. Sebodoh apapun kelihatannya. Bukankah ini zaman post-truth dimana orang tak lagi berpikir. Orang lebih suka mendayagunakan emosinya.

Aparatusnya adalah cara legal dengan pengerahan massa. Satu-satunya ruang kebebasan yang paling mungkin. Sebab dalam aksi massa, tak ada pengadilan yang rasional.

Inilah cara merebut pikiran kolektif. Praktik pertarungan makna melalui pewacanaan.

Cara mematahkannya tak lain dengan menghancurkan proses beruntun tadi. Di sinilah letak pentingnya "yang waras tidak boleh diam." Kita yang awas dan waras harus siap berperang wacana di medan Kurusetra.

Tapi rencana HTI akan benar-benar wassalam jika otoritas negara, dalam hal ini aparat penegak konstitusi dan hukum, bertindak cerdas.

Dalam kasusu ini, masyarakat bawah hanya akan sampai pada level "lempar-lemparan makna." Negaralah, melalui otoritasnya yang memutuskan pendulum makna berhenti di sebelah mana.

Bukankah sudah jelas, siapa yang membangkang dan siapa yang siap setia menjaga NKRI?

Jangan sampai pertarungan wacana berubah menjadi polarisasi yang memecah kesatuan anak bangsa. Ini bisa saja terjadi kalau aparat hukum tak segera bertindak.

Kalau yang membakarnya bagaimana, apakah juga perlu ditindak?

Mereka memang salah. Karena terlalu gegabah. Karena belum pandai menahan amarah. Bukan karena keinginan makar. Apalagi karena menolak kesucian kalimat tauhid. Mereka hanya terlalu cinta pada NKRI. [AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti: