Skip to main content

Berkata Baik atau Diam


Kapan terakhir kali kita menepi dan menghayati dengan khidmat setiap kata yang keluar dan masuk? Sungguh peristiwa yang langka akhir-akhir ini. Saat kita terbiasa lari dari satu kata ke kata lain nyaris tanpa mengenalnya.


KATA yang keluar dari mulut atau yang lahir dari jari jemari kini kian bising saja. Perdebatan menjadi begitu asyik untuk dikonsumsi saban hari. Saat orang-orang yang terlibat di dalamnya terjerat motif dan keuntungan yang kita tak pernah tahu. Politik kebangsaan atau hanya pragmatisme saja. Atau jangan-jangan ada yang hendak mendapuk untung dari keadaan yang kian menegang.

Ngaji di bulan puasa Bab Aafatu al-Lisan bersama Buya Husein Muhammad membawa saya sejenak berpikir bahwa bahaya besar siap menghadang kata yang keluar tanpa guna. Termasuk di dalamnya adalah membuat berita palsu atau hoaks atau sekadar turut menyebarluaskannya dengan satu hentakan jari.

Bukankah selama ini kita tak pernah berpikir membagikan tautan tertentu bisa jadi berakibat pada dosa yang mengerikan?

Ini biasa terjadi. Kita tak pernah tahu isi dalam tautan tersebut apakah mengandung kebenaran atau tidak tapi lalu kita sebarkan karena isinya kontroversial, bombastis dan menarik perhatian publik. Viral.

Eksistensi diri dalam keikutsertaan menyebarkan konten berpotensi viral sepertinya sudah sedemikian mengalahkan pertimbangan akal sehat. Rela njengking demi viral.

Di lain sisi, yang viral, seringkali, meskipun tidak selalu, adalah hal-hal yang lebih dominan melibatkan emosi netizen. Hal-hal yang mengerikan, mencekam, teror, kontroversial, pergunjingan, aib-aib yang dibanggakan, perdebatan, penyelewengan nilai-nilai, dan sesuatu yang tak lumrah. Bad news ia good news.

Ada juga berita yang terlihat benar tapi diangkat dari sudut tertentu, sengaja dicipta untuk satu niat terselubung tanpa asas konfirmasi apalagi cover all side. Tentunya yang ini juga bisa menjadi viral dengan strategi IT, dsb.. Kita tak pernah tahu itu bukan? Toh sudah biasa kita menyebarkannya.

Hanya gegara pengen mendapat perhatian netizen ternyata kita kebagian dosa menyedihkan. Dosa menyebarkan sesuatu yang tak benar-benar kita pahami substansi maupun akibatnya.

Jadi, kesimpulan ngaji pertemuan kemarin (21/5/18) adalah berkata baik. Kalau tidak bisa berkata baik lebih baik diam saja.

Oh ya, berkata bukan berarti mengeluarkan suara dari mulut saja. Makna 'berkata' sekarang menjadi lebih luas yakni 'menghasilkan kata'.

Sehingga segala kegiatan yang menghasilkan kata seperti mengetik di tuts PC ataupun gawai dan menyebarkannya di medsos termasuk dalam term berkata atau berkata-kata.

Termasuk di dalamnya adalah menyebarluaskan tautan berisi kata, apapun. Prinsipnya sama dengan berbicara tapi meminjam omongan orang lain.

Ingat, pikirkan dulu substansi dan akibatnya sebelum menyebar tautan. Jangan asal viral. Kalau masih berpikir begitu, jangan-jangan di batok kepalamu viral sudah menggantikan posisi tuhanmu, iya?[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...