Skip to main content

Lalu Kenapa Kalau Nabi Tak Bisa Baca Tulis?


SAYA percaya Nabi itu ummi, dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak bisa membaca dan menulis. Yang saya tidak percaya adalah logika kita di zaman ini yang meyakani bahwa "buta aksara" itu identik dengan bodoh dan terbelakang.

Buta aksara inilah justru yang menjadi kelebihan beliau. Nabi tidak terjebak logika teks, gramatika tulisan, yang kerap kali membelenggu.

Bukankah al-Quran sendiri adalah ujaran? Perhatikan bentuk rima, pengulangan, dan formulawi kelisanannya. Jelas sekali di sana bahwa Quran adalah lisan. Meski sudah dituliskan sekalipun, dia tetap lisan.

Karakternya sebagai ujaran membuat kitab suci ini selalu dekat dengan pendengarnya. Selalu aktual. Karena ujaran hidup bersama waktu. Sementara tulisan menjauhkan "yang mengetahui" dengan "yang diketahui".

Tapi zaman setelahnya, juga zaman ini, kita memperlakukan Quran sebagai teks mati yang tak hidup. Hilanglah makna dan relevansinya dalam kehidupan. Lalu kita juga memaksakan sejarah dengan mengharap Nabi sebagai yang menulis dan membaca.

Kadang saya suka mikir sendiri, apa jeleknya jika tak bisa baca tulis? Apakah orang yang tidak bisa baca tulis sama dengan bodoh?

Sepertinya asumsi kita tentang hal ini disingkirkan dulu untuk bisa mengetahui kebenarannya.

Dari dulu saya selalu bilang, kesalahan kita memahami sejarah adalah saat pikiran masa kini kita kerap digunakan untuk 'menghakimi' masa lalu. Padahal ada jarak dan ruang yang merentang jauh antara masa lalu dan saat ini. Alam pikir dan cara pandangnya pun niscaya berbeda. Tapi kita senang menghakiminya.

Itulah pentingnya ilmu seperti asbab an-nuzul, asbab al-wurud, sejarah, dsb. Untuk mengetahui masa itu dengan sebisa mungkin logika kehidupan masa itu.

Bagiku, Nabi yang ummi itu justru sangat membanggakan. Karena dia menjadi tidak berjarak dengan masyarakatnya. Beliau bersama detak kehidupan masyarakat.

Bukankah Ferdinand de Saussure juga meyakini bahwa bahasa itu ujaran, teks hanya menuliskan yang ujaran itu. Meski Derrida meyakini berbeda.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.