Skip to main content

Lusa, 100 Hari Kamu


Aku terbayang lagi wajahmu
Yang wujudnya tak bisa lagi dimengerti
Apinya telah padam, menjelma gelap
Tapi panasnya tak juga hilang

Tangis dan jeritanmu waktu itu
Mengiris-iris seluruh badanku
Sakitmu itu kini tak lagi nampak
Tapi ngiluku bersemayam semakin dalam

Kau anakku dan aku ayahmu
Dan kau sendirian di sana
Katanya di surga
Katanya akan memanggil kami, bersamamu

Benar tidaknya tak peduli
Tapi kau anakku dan aku ayahmu
Aku sakit setiap mendengar laramu

Ngilu ini sungguh menyiksa
Bagaimana bisa aku menjerit untuk melepaskannya
Sementara orang-orang di sekitarku tak melihatmu

Lusa 100 harimu
Saat ini, di atas kereta kau duduk di sampingku
Dan kuciumi pipimu
Kusapu rambutmu dengan tanganku

Dadaku berdetak kencang
Tanganku gemetaran
Kakiku kaku
Mataku berlinang kenangan

Kupeluk tubuhmu yang ringkih
Tak ada kehangatan
Tersisa hanya dingin
Kau sekejap menjadi angin

Aku menangisi diriku sendiri

Anggit, kemarilah
Kau tahu, aku sedang berkalang rindu
Biasanya kau menyambutku
Kepulanganku tak pernah sehampa sekarang
Rumah kita kini kosong
Kau tak ada di sana
Bunga yang dulu bermekaran kini berguguran
Lalu untuk apa aku pulang?

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena me...

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Islam Pos-Kolonial

Hubbul   wathon minal iman , cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kalau diingat, jargon tersebut dipopulerkan ulama pesantren yang mengartikulasikan terma wathon dengan sangat lincah. Lihat pula bagaimana pada tahun 1914 Kiayi Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Mansur mendirikan organisasi pendidikan dan dakwah dengan nama Nahdhatul Wathon .  Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kebangsaan sudah ada dan jauh meresap dalam jiwa orang-orang Islam di pesantren. Jauh sekali sebelum kelompok konservatif-skripturalis kembali menggugat wathon dengan konsep keberagamannya satu dekade terakhir ini. Pesantren senantiasa menyatukan diri dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dan karena yang menjadi titik utama perjuangan mereka adalah pendidikan dan dakwah, maka sebenarnya tugas utama yang belum tuntas adalah terus men- transformasi kan pengetahuan kebangsaan yang telah lama dipahami oleh leluhur kepada semua warganya untuk saat ini dan masa depan. Adalah satu kesulitan ...