Skip to main content

Perlakuan yang Baik untuk Semua Orang, Belajar dari Raja Habasyah


PADA awal kerasulan, sekitar tahun 615, kaum muslim banyak yang berhijrah ke Habasyah atau Abyssinia (sekarang Ethiopia). Mereka berhijrah karena perlakuan yang buruk dari masyarakat Mekah kepada Mereka. Habasyah pun menjadi pilihan karena Nabi Muhammad SAW menyarankannya. Pemimpin Habasyah, Raja Negus (Najasyi) dikenal sebagai orang yang menerima tamu dan menghormati semua pemeluk agama.

Sebanyak 12 muslim laki-laki dan empat perempuan yang dipimpin sepupu Nabi, Ja’far bin Abi Thalib disambut dan diperlakukan dengan baik oleh penguasa yang beragama Kristen itu. Mereka mengendap-endap meninggalkan Kota Mekah dan naik perahu, menyeberangi lautan untuk menuju Kota Axum, di Negara Habasyah, benua Afrika.

Kaum musyrik Mekah meminta agar mereka dipulangkan, tetapi raja menolaknya. Dia melindungi segenap kaum muslim yang berada di sana. Tiga bulan berikutnya, 80 orang sahabat kembali datang ke Habasyah, negeri asal sahabat Nabi yang terkenal, Bilal bin Rabah.

Kaum musyrik Quraisy akhirnya mengirimkan utusan, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah untuk mendesak Raja Negus mendeportasi orang-orang Mekah yang beragama Islam. Apa jawaban raja beragama Kristen tersebut? Dia menolak permintaan Amr dan tetap memberikan perlindungan penuh kepada kaum muslim.

Mereka yang berhijrah tetap berada di Habasyah, sebuah kerajaan yang dipimpin orang Kristen tapi melindungi tanpa pandang agama. Hingga keadaan di Mekah berubah, mereka tetap di sana. Pada saat Nabi dan kaum muslimin yang lain hijrah ke Madinah, mereka banyak yang bergabung ke Madinah. Tapi ada beberapa yang memilih berada di Habasyah.

Lalu apakah mereka berpindah agama ke agama yang dipeluk Raja Negus? Tidak. Orang-orang Islam di sana kemudian banyak yang menyebarkan Islam. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan ada sahabat Nabi yang kemudian berpindah agama seperti Ubaidillah ibn Jahsy.

Ubaidillah ibn Jahsy hijrah bersama istrinya, Umm Habibah, anak perempuan Abu Sufyan. Pada saat Ubaid memutuskan memeluk agama Kristen, istrinya tetap dalam agama Islam.

Setelah berpindah agama, Ubaid sering menyombongkan diri bahwa hanya dia satu-satunya orang yang melihat cahaya terang dalam agama Nasrani. Dia terus mencela keimanan kaum muslim. Dan hal itu seringkali menyakiti hati istrinya.

Dari peristiwa ini saya mengambil pelajaran bahwa kebajikan ada pada semua orang, agama apapun yang dipeluknya. Demikian pun, keburukan, bisa muncul dari orang dengan agama apapun.

Tidak semua orang Kristen sebaik atau seburuk bagaimana yang kita bayangkan, begitupun tak semua orang Islam sebaik atau seburuk yang diceritakan.

Cara kita berpkir tidak adil jika sudah menstigma orang berdasar perbedaan pilihan agama, juga misal dari perbedaan bangsa. Seperti yang dikatakan Ontosoroh dalam Bumi Manusia, bahwa pribumi bodoh sama saja dengan Eropa bodoh.

Kebodohan bukan milik pribumi saja, ataupun kecerdasan bukan milik Eropa saja. Tapi setiap orang bisa menjadi bodoh atau cerdas sesuai dengan usaha-usahanya.

Kembali ke cerita awal, meskipun sama-sama beragama Kristen, Raja Negus dan Ubaidillah ibn Jahsy memiliki perangai yang sama sekali berbeda. Yang pertama, memberikan perlindungan, yang kedua bersifat sombong dan selalu mencela orang dengan keyakinan berbeda.

Bisa dikatakan, di dalam setiap orang ada bibit-bibit kebaikan, dari sana bisa muncul kebaikan juga darinya bisa muncul keburukan. Penting untuk dicatat bahwa kebaikan maupun kejahatan tidak serta merta ikut di dalam agama apa yang dipeluk, atau yang tertulis di atas KTP.

Abu Hurairah r.a. menuturkan bawa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kalian, tidak juga pada harta kalian, tetapi Dia melihat hati kalian dan amal-amal kalian.” (Shahih Muslim, no. 6708)

Lalu bagaimana bisa melihat kebaikan dan keburukan dengan lebih jernih?

Ada satu kaidah yang begitu sederhana tapi mendalam yang patut kita cermati, bunyi kaidah itu adalah “berbuat baiklah kepada orang sesuatu yang baik untukmu, dan jangan berbuat buruk kepada orang lain sesuatu yang kamu tidak mau mendapatkannya.”

Inilah pedoman untuk berbuat baik dengan pemahaman yang sederhana. Meski akan tetap sulit dalam praksisnya. Selalu saja ada subjektifitas yang melingkupi horison pengalaman dan pengetahuan setiap orang. Maka yang lebih arif adalah menjaga diri dari merasa paling baik dan paling benar.

Jika kita tidak mau segala simbolisasi agama yang kita peluk dihinakan, janganlah menghina simbol-simbol agama lain. Jika kita meyakini ajaran agama kita paling benar, janganlah kemudian menyalahkan ajaran agama lain.

Menyalahkan ajaran agama lain hanya akan menunjukkan cara berpikir dan beragama kita yang dangkal.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.