
HUJAN sudah turun. Sini, masuk ke dalam. Lekas meneduh, biar tidak kebasahan. Kalau kamu basah dan masuk angin, toh aku juga yang sedih.
Tapi kau terlihat enggan. Air hujan adalah berkah, katamu. Dan dalam hujan, bersemayam rindu yang tak lekang oleh waktu.
"Dalam hujan, aku bisa mengingatnya," katamu, pagi itu.
Bulir-bulir hujan jatuh ke atas tanah yang telah becek. Menjelma lumpur. Sebagian kecil pekarangan samping rumah sudah mulai tergenang air. Dan pola-pola melingkar sahut menyahut mengiringi jatuhnya tetesan air.
Tetesan-tetesan itu seperti penari saman, membentuk pola berulang yang atraktif. Dari setitik kemudian kian membesar, lalu hilang. Sebelum datang tetesan berikutnya.
Seperti rinduku padanya. Awalnya kecil, lalu membesar, sebelum akhirnya hilang dan menyatu. Lalu datang lagi rindu berikutnya.
Sini, Nak. Di luar hujan. Aku akan sedih kalau kau kedinginan. Tapi kau bilang, hanya dingin yang mampu mempertemukan aku dan kamu.
Lewat jendela bercat putih, di depan rumah kulihat ada tiga anak kecil bermain dengan riang. Dua perempuan dan satu lelaki. Mereka berlari dan melompat merayakan hujan.
Tiba-tiba saja senyumku mengembang.
Saya membayangkan yang lelaki itu adalah saya. Dan dua anak perempuan itu adalah kamu dan ibumu. Kita bertiga sebaya, bermain hujan dan merayakan kegembiraan.
Kita bahagia.[AR]
Comments
Post a Comment