SUDAH dua hari ini geraham saya sakit. Sebelah kiri bagian atas. Sepertinya ada gigi terakhir yang tumbuh dan tak kebagian tempat. Akibatnya pipi kiri saya bengkak sebesar bakpao. Sakitnya sih biasa saja tapi cenut-cenutnya mantep banget. Bikin badan panas dingin.
Kemarin sore, bersama istri, Asih Widiyowati, saya sempatkan datang ke paman saya, Rusli namanya, untuk meminta obat agar cepat sembuh. Mang Rus (panggilanku kepada pamanku, Rusli) adalah lulusan sekolah keperawatan jaman dulu (SPK).
Sekarang dia menjadi PNS bertugas di Puskesmas Panguragan. Kalau malam, sedari maghrib hingga jam 22.00 WIB, dia buka praktik pelayanan kesehatan di Kertasura, di rumah almarhumah nenek saya.
Istrinya, Mbak Yuni, adalah perempuan asal Suranenggala, beberapa desa arah selatan Kertasura. Rumahnya dekat kantor Polsek Suranenggala. Rumah mereka di Suraneggala, tapi waktu Mang Rus banyak dihabiskan di Kertasura. Bukan tak betah di rumahnya di Suranenggala, tapi karena rasa pengabdiannya yang tinggi untuk mendermakan ilmu kepada orang-orang yang membutuhkan.
Pamanku itu bercerita bahwa keluarga kakek (ayahnya) terbilang mampu semasa itu. Diceritakan bahwa kakek bekerja di British American Tobacco (BAT). Perusahaan rokok yang dibangun pada tahun 1924. Sebelum 1960, BAT memproduksi rokok berbagai merek seperti Double Ace, Gold Fish, Mascot, Medal, Kresta, Pirate, Bison, dan rokok khusus untuk militer.
Megahnya gedung perusahaan yang terletak di daerah Pasuketan, Kota Cirebon, itu memperlihatkan betapa masa-masa jayanya BAT adalah raksasa perusahan rokok di Indonesia. Pada masa berikutnya, perusahan ini mengalami kelesuan dan pada 2010 menghentikan produksi di Cirebon.
Kakekku bekerja di sana sebagai penjamin mutu tembakau. Saban hari dia mengayuh sepeda sejauh 15 kilometer ke tempat kerjanya.
Tugasnya di tempat kerja tidak sederhana, memastikan kualitas tembakau. Caranya dengan menciumi daun bernikotin itu satu per satu. Pekerjaan langka yang membawa resiko kesehatan yang besar. Kakekku berhenti bekerja karena masalah pernapasan dan beberapa tahun kemudian meninggal dunia. Kakek meninggal saat pamanku, Rusli baru berusia 3 tahunan.
Meski tergolong keluarga berada tapi tak ada satu pun anak-anaknya yang menyelesaikan sekolah dasar (SD). Ibuku juga sama, sekolah hanya tamat kelas 2 SD. Hanya pamanku Rusli yang memaksa Nenek agar dia dibiayai hingga lulus SMP. Akhirnya Nenek mengiyakan dan mang Rus bisa bersekolah lebih tinggi hingga dia jadi perawat beneran.
Sebagai satu-satunya anak yang bersekolah hingga SPK, Mang Rus merasa mempunyai utang budi kepada saudara-saudaranya. Dia pun berjanji untuk bisa menolong saudara-saudaranya.
Dia memberikan pelayanan kesehatan kepada saudara-saudaranya, anak-anak mereka dan juga cucunya secara cuma-cuma. Asal tahu saja, di sebuah kampung kecil di Kertasura, satu kampung isinya saudara semua.
Menjadi perawat dan membuka layanan kesehatan di sudut kampung awalnya hanya untuk melayani saudara-saudara kandungnya itu, untuk memenuhi janji. Lambat laun, orang-orang kampung banyak yang berobat kepadanya. Dia juga yang biasa dipanggil untuk mengkhitan anak-anak lelaki di kampung.
Saya tidak tahu pamanku itu mamatok tarif berapa untuk setiap pelayanannya. Tapi sependek yang saya tahu dia tidak rewel masalah bayaran. Orang yang membayar kemudian alias yarnen (bayar nanti kalau panen) pun ada saja. Karena itu, dia kemudian disegani masyarakat. Mereka menghormatinya karena dia membantu mereka.
Jadi ingat ucapan KH Husein Muhammad kepada saya. Saya lupa kapan persisnya. Katanya, “orang yang ada untuk masyarakat, maka masyarakat akan ada untuk dia. Orang yang melayani masyarakat, maka dia akan dihormati masyarakat.”
Seperti sedang menasehati saya, Mang Rus kemudian bercerita. Sedari dulu, di tempat itu, bekas rumahnya kakek dan nenek, banyak orang mendapatkan pertolongan. Kalau dulu banyak orang minta tolong karena kurang makan, sekarang banyak orang datang minta tolong karena masalah kesehatan.
“Dulu banyak orang tidak bisa makan. Tidak seperti sekarang,” kata pamanku.
Mendengar cerita itu, batinku terkesiap. Kakekku dan pamanku ini orang hebat. Suka menolong orang. Belum selesai keterkejutanku, Mang Rus kembali bercerita tentang sesatu yang membuatku seolah memasuki alam baru.
“Orang tuaku dulu berwasiat satu hal saja: jadilah orang yang berguna untuk orang lain. Itu saja. Tapi kalau kamu tidak bisa melakukan itu, maka cukup jangan membuat susah orang. Jangan pernah menyakiti orang lain,” katanya.
Saya pun terdiam. Terus terang saya baru mendengar wasiat ini dari mulut Mang Rus. Sebuah pesan yang amat dalam. Tentang kemanusiaan yang teorinya selalu aku rapal. Tapi dalam praktik masih sering kedodoran.
Obrolan malam tadi terhenti saat ada pasien lainnya datang. Mang Rus pun menyapa pasien itu dengan ramah. Saya pun pamit sambil menaruh dua bungkus rokok kesukaannya di atas mejanya. Mempersilakan pamanku kembali mengabdikan diri pada masyarakat. Terima kasih, Mang Rus, wasiat dari kakek ini akan saya pegang sampai mati.[AR]
Comments
Post a Comment