Skip to main content

Cendrawasih



PEDAGANG Melayu menyebutnya "Manuk Dewata" atau Burung Tuhan. Orang Portugis menyebutnya Passaros de Col atau Burung Matahari.

Karena dia hidup di udara, menari-nari menuju matahari, dan menginjakkan kakinya setelah mati.

Orang Belanda menyebutnya dalam bahasa latin, Avis Paradiseus, atau dalam bahasa Inggris, Paradise Bird (burung surga).

Tapi cendrawasih tak hanya satu jenis. Dia beraneka spesies. John van Linschoten menamainya satu satu pada medio 1960. Tapi dari semua jenis yang dia ketahui tak ada yang melihat burung ini dalam keadaan hidup.

Orang-orang Eropa mengetahuinya dalam bentuk sudah mati, seringkali dalam bentuk yang sudah tidak utuh.

Lambat laun orang-orang memburunya. Menjual dan memperdagangkannya. Dijual dalam keadaan mati. Hingga burung yang indah ini dinamai para pedagang dengan nama yang aneh, Burong Coati, artinya burung mati.

Karena orang melihatnya dalam keadaan sudah mati. Diawetkan, diperjualbelikan, untuk dinikmati keindahan mayatnya.

Hingga sekarang, masih banyak orang yang memburu dan mengawetkan burung yang dilindungi ini demi segepok rupiah. Untuk kesenangannya saja.

Barangkali kebanyakan orang tidak menyukai perbuatan memburu cendrawasih. Tapi ingat, ada juga orang yang memang senang dengan perdagangan tersebut. Sebab dia bisa membeli burung mati dan menikmati keindahan jasadnya.

Perdagangan itu terus terjadi. Hingga hari ini.

Orang Papua bisa jadi nasibnya tidak jauh dari cendrawasih. Alfred Russel Wallace menyebut sederetan kelebihan orang Papua bila dibandingkan orang Melayu.

Orang Papua disebutnya lebih cerdas dibandingkan orang Melayu. Mereka juga lebih berjiwa seni. Mereka menghiasi kano, rumah, dan hampir setiap perkakas.

Mereka lebih berenergi, keras dalam mendidik anak, dan disiplin. Energi yang besar serta pikiran yang cerdas inilah yang bisa menyebabkan pemberontakan terhadap yang lemah terhadap yang kuat, rakyat yang melawan penguasa, atau anak terhadap orang tuanya.

Orang Papua lebih ekspresif mengeluarkan emosinya tidak seperti Melayu yang menyembunyikan perasaannya. Tapi memang orang Papua jarang berinteraksi dengan peradaban di luarnya. Tidak secair Melayu dalam menerima pendatang, dari India, Tiongkok, atau bahkan Eropa.

Inilah yang kemudian membuat saudara kita di Papua lebih sering didefinisikan daripada menjadi subjek bagi dirinya sendiri. Nama Irian adalah contoh pendefinisian tersebut.

Dulu nama Papua tidak dikenal, menyebutnya pada masa orde baru adalah pelanggaran. Papua disebut "secara paksa" dengan nama Irian Jaya. Presiden Gus Dur mengembalikan jatidiri orang Papua dengan mengembalikan posisi mereka sebagai subjek untuk kehidupannya sendiri.

Orang Papua boleh menyebut diri mereka sesuai dengan yang mereka inginkan. Mereka juga boleh mengibarkan bendera Papua, dengan syarat harus dikibarkan lebih rendah di bawah Sang Merah Putih.

Pemberontakan orang Papua harus dilihat sebagai alarm bagi kebangsaan kita bahwa seluruh manusia di dalamnya harus menjadi subjek dalam pembangunan. Semua suku bangsa setara dan tak ada yang lebih mulia satu dibanding yang lain. Tidak ada panggilan tak patut, seperti "monyet" dan sebagainya.

Bukankah penyebutan "monyet" adalah juga luka bagi orang Jawa saat kata itu keluar dari mulut penjajah Eropa. "Monyet" itu tak seharusnya terus menerus diwariskan. Karena kita bukan bangsa penjajah.

Gus Dur sudah memberikan kita teladan, cara terbaik nguwongaken orang Papua. Kekerasan tidak pernah bisa diselesaikan dengan bedil, ia harus ditemani dengan kasih kemanusiaan.

Saya percaya Pemerintah akan mengambil langkah bijak menghadapi riak dan gelombang rasisme akhir-akhir ini. Masyarakat pun saya yakin tak akan mudah terpancing. Meski selalu saja ada yang mendapuk untung dari ketidakjelasan situasi.[AR]

Comments

Popular posts from this blog

Syekh Magelung Disambut Ki Gede Karangkendal (3)

Gerbang menuju makam Ki Krayunan, yang dikenal dengan nama Ki Gede Karangkendal, Ki Tarsiman dan Buyut Selawe. Dok. Pribadi. ATAS perintah Sunan Gunung Jati, Syekh Magelung menuju ke arah utara, daerah Karangkendal.   Daerah Karangkendal saat itu bukan daerah kosong yang tidak ada penghuninya. Saat Syekh Magelung datang ke Karangkendal, di situ sudah ada pemukiman yang dipimpin oleh Ki Krayunan yang mendapat gelar Ki Gede Karangkendal.   Gelar tersebut bukan gelar yang diberikan rakyat melainkan sebuah gelar kepangkatan. Adapun tanda kepangkatannya sebagai Ki Gede Karangkendal adalah bareng sejodo / bareng jimat . Tanda kepangkatan tersebut diberikan langsung oleh Mbah Kuwu Cirebon kepadanya. Di daerah Karangkendal sendiri terdiri dari dua karang (tanah) yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Daerah sebelah utara disebut Karang Krayunan sementara daerah sebelah selatan disebut Karang Brai. Ki Gede Karangkendal disebut juga dengan nama Ki Krayunan karena menempati d

Para Murid Syekh Magelung (4)

Suasana sore hari di sekitar depok di dalam komplek Makam Syekh Magelung Sakti. Dok. Pribadi.  SEPENDEK yang penulis ketahui, banyak sekali murid yang pernah belajar di Pesantren Karang Brai. Akan tetapi, murid Syekh Magelung yang termashur diantaranya adalah Ki Jare/Ki Campa, Ki Tuding/Ki Wandan yang kuburannya dapat ditemukan di Desa Tegal Semaya Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu. Kemudian ada Raden Mantri Jayalaksana dari Desa Wanakersa (sekarang Desa Kertasura) Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Ki Braja Lintang (Ki Lintang) dari Rengasdengklok Karawang, Ki Buyut Tambangan, Ki Gede Ujung Anom, Ki Pati Waringin, Nyi Gede Manukan dan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu. Di bawah ini adalah sebagian cerita rakyat mengenai beberapa murid Syekh Magelung sakti:

Pangeran dari Negeri Syam (1)

Petilasan Syekh Bentong dan Jaka Tawa. Dok: pribadi. ALKISAH , ada seorang pangeran dari Negeri Syam yang memiliki sebuah kesusahan, rambutnya tak bisa dipotong. Rambutnya terus tumbuh dan tumbuh hingga sang pangeran telah dewasa. Hal itu tentu menggelisahkan. Suatu hari, dalam sebuah kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dia mendengar sebuah suara yang merasuk ke kalbunya. Suara halus itu mengisyaratkan kepadanya ada seseorang di Tanah Jawa yang bisa memotong rambutnya yang panjang tersebut. Sebuah kabar yang menggembirakan. Dia pun berangkat ke Jawa dengan membawa dua perahu besar. Perahu pertama membawa perbekalan seperti makanan dan minuman. Sementara perahu kedua membawa kitab suci Al-Quran dan kitab-kitab lainnya tentang agama Islam dari negerinya. Sebelum sampai ke Tanah Jawa, dia singgah di beberepa tempat diantaranya adalah daerah Cempa dan Wandan. Dari dua daerah tersebut dia membawa serta dua orang yang kelak menjadi orang kepercayaannya.