Skip to main content

Posts

Ambang Batas Kata

SAYA heran dan ragu terhadap kata ‘ speechless’. Heran karena kata ini marak sekali digunakan terutama oleh anak-anak muda zaman sekarang. Kalau dialihbahasakan kata ini mungkin setara dengan ‘diam tanpa kata’. Begitu marak penggunaannya membuat orang yang belum mengerti artinya mencari-cari di Google maupun mesin perambah lain. Salah satu mesin perambah, Yahoo dengan kanalnya Yahoo Answer membuka ruang tanya jawab tentang arti kata ini. Salah satu akun memberikan jawaban terbaik menurut Yahoo. Dia menjawab pengertian speechless dengan pengertian sebagai berikut:    Speechless itu kehilangan kata-kata, yang bisa dikarenakan berbagai hal seperti gugup, terlalu mengagumi, takut, lupa dan seolah tidak ada kata-kata yang pas untuk diucapkan. Salah satu hal yang pernah membuatku speechless adalah ketika mendapat pernyataan cinta dari orang yang kita sayangi dengan cara yang sangat romantis. ada juga hal buruk yang bikin speechless yaitu lupa kata-kata apa yang h...

Logos tanpa Penghayatan

PADA saat dewa-dewa dan dewi-dewi mitologi Yunani ‘dibunuh’, mitos menjadi logos. Relativisme ekstrem zaman Yunani membawa akibat fatal di bidang politik. Dalam politik waktu itu, tidak berlaku lagi ‘benar’ dan ‘tidak benar’. Hal yang dibutuhkan seorang politikus waktu itu ialah teknik meyakinkan (retorika). Relativisme dan ketidakpastian kebenaran membawa bencana dan kesengsaraan bagi rakyat dan inilah yang dilawan Sokrates, Plato dan Aristoteles. Mereka mengatasi krisis itu dengan membunuh dewa-dewi dalam mitologi Yunani ( entgoetterung ) dan menggubah logos. Tapi kita lupa bahwa pada saat itu pun, mereka tak mencipta logos untuk menghapuskan sama sekali kebenaran mitos.  Kebenaran mitos ada pada penghayatan hidup sementara kebenaran logos lebih teliti, murni namun abstrak dan dingin. Logos tidak boleh lepas dari penghayatan.  Ini sama dengan teks yang tidak boleh lepas dari konteks, tulisan yang tidak boleh lepas dari ujaran, informasi yang tidak boleh lep...

Indahnya Perbedaan

Pluralitas dan Keterbatasan Manusia

SALAH seorang dosen di ISIF dulu pernah menjelaskan tentang pluralisme dengan sangat sederhana namun cerdas. Dia menjelaskan hal itu dari pembuktian bahwa manusia itu niscaya sangat terbatas dalam memahami realitas, baik realitas faktual maupun realitas tekstual. Hari itu, tiba-tiba saja dosen yang lebih banyak diam tersebut menggambar sebuah garis melengkung di papan tulis yang mirip cermin dalam pelajaran Fisika SMA. Sejurus kemudian, dia bertanya pada mahasiswanya. “Apakah garis ini cembung ataukah cekung?” Saya dan beberapa teman lain menjawab cermin cembung, tapi tak sedikit yang menjawab itu adalah gambar cermin cekung. Masing-masing dari kita pun mengutarakan pendapatnya masing-masing dan beberapa lagi memaksakan pendapatnya dengan nada yang lebih tinggi. “Sudah, sudah,” kata sang dosen menengahi. “Ini adalah gambar cermin cembung sekaligus cekung. Dua-duanya benar. Kalau kalian berada di sisi kiri garis ini, kalian akan melihat ini ...

Cerita Rakyat Sebagai Sejarah yang Tersamarkan

MITOS, legenda dan dongeng dari masa lalu mungkin dapat diambil manfaat bagi kajian sosial kemasyarakatan di masa sekarang. Semua kisah dari masa silam tersebut agaknya bukan semata-mata cerita hampa belaka, sebab bukan tidak mungkin di balik uraian mitos, legenda, dan dongeng tersimpan peristiwa sejarah yang sangat disamarkan atau sengaja disamarkan dengan tujuan tertentu namun tetap layak untuk diingat. Demikian dikatakan oleh seorang arkeolog Agus Aris Munandar dalam buku Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuno. Dalam catatannya mengenai Mitos dan Peradaban Bangsa ada langkah menarik yang dilakukan arkeolog asal Indramyu ini. Dia menganalisis mitos, legenda dan dongeng dari seluruh penjuru nusantara, mulai dari Suku Daya Ngaju, Batak, Nias, Sumba, Flores, Minahasa, Toraja, Kanekes, hingga Jawa. Dari sekian banyak cerita tersebut, dan mengelompokkannya berdasar tema yang dibahas dalam mitos. Adapun ilustrasinya sebagai berikut: Mitos Etnik Tema Lautan atau G...

Kegamangan Epistemologis 'Wong Cerbon'

TIGA tahun lalu, saat ke lapangan untuk mengumpulkan data Tesis Sarjana saya di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, saya menemukan ketidakpercayaan diri dari seorang pribumi di Desa Karangkendal. Namanya Syatori, dia guru SD di Karangkendal yang menulis cukup banyak tentang legenda Syekh Magelung Sakti. Saya pun mendatanginya karena dia dipercaya masyarakat sebagai orang yang paling tahu legenda tersebut. Benar saja, dia sangat fasih bercerita tentang Syekh Magelung.  Dia juga sudah menuliskan legenda itu dalam beberapa makalah dan artikel. Tapi, ada sebersit ragu di dalam dadanya. Pak guru itu selalu bertanya, apakah cerita yang ia tuliskan tersebut sejarah ataukah bukan? Andai sejarah yang ia tuliskan, tentu saja cerita tersebut harus dipangkas habis sesuai dengan metodologi ilmu sejarah. Dan kalau cerita itu harus disebut sejarah, maka dia yakin 99 persen bagian dari cerita itu harus dihapus. Seperti legenda dan cerita rakyat di mana-mana, ia tak logis,...

Strukturalisme: Sebuah Pengantar Diskusi Buku di Ghuraba Circle

STRUKTURALISME menjalar di semua semikiran sosial Perancis pada 1960-an. Pemikiran strukturalisme juga merupakan titik awal dari lahirnya posstrukturalisme dan posmodernisme. Strukturalisme adalah sebuah reaksi melawan humanisme Prancis, terutama eksistensialis Jean-Paul Sartre. Dengan begitu, kita harus melihat kemunculan strukturalisme, poststrukturalisme dan posmodernisme dalam pertentangannya dengan humanisme eksistensialisme. Dalam karya-karya awalnya, Sartre memusatkan perhatian pada kebebasan individu. Apa yang dilakukan seseorang ditentukan dirinya sendiri, bukan aturan sosial atau struktur sosial. Namun dalam perkembangannya, Sartre tertarik pada teori Marxis. Meski dia tetap berfokus pada “ individu bebas ”, tapi individu tersebut kini tersituasikan dalam sebuah struktur sosial yang massif dan menindas.   Gila Hayim (1980) melihat ada semacam keberlangsungan antara awal dan akhir pemikiran Sartre. Dia melihat Sartre dalam   Being and Nothingness...