TIGA tahun lalu, saat ke lapangan untuk mengumpulkan data Tesis Sarjana saya di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, saya menemukan ketidakpercayaan diri dari seorang pribumi di Desa Karangkendal. Namanya Syatori, dia guru SD di Karangkendal yang menulis cukup banyak tentang legenda Syekh Magelung Sakti. Saya pun mendatanginya karena dia dipercaya masyarakat sebagai orang yang paling tahu legenda tersebut. Benar saja, dia sangat fasih bercerita tentang Syekh Magelung. Dia juga sudah menuliskan legenda itu dalam beberapa makalah dan artikel. Tapi, ada sebersit ragu di dalam dadanya. Pak guru itu selalu bertanya, apakah cerita yang ia tuliskan tersebut sejarah ataukah bukan? Andai sejarah yang ia tuliskan, tentu saja cerita tersebut harus dipangkas habis sesuai dengan metodologi ilmu sejarah. Dan kalau cerita itu harus disebut sejarah, maka dia yakin 99 persen bagian dari cerita itu harus dihapus. Seperti legenda dan cerita rakyat di mana-mana, ia tak logis,...
Tutur tinular dari mulut ke mulut